Warisan Beracun dari Hulawa: Pemerintah dan Aparat Dinilai Abai atas Maraknya Penggunaan Merkuri di Tambang Emas

Dicky Modanggu (Foto: Dok)

newstizen.co.id Gorontalo Utara — Praktik penggunaan merkuri (air raksa) di area pertambangan emas Desa Hulawa, Kecamatan Sumalata, Kabupaten Gorontalo Utara, kembali menuai sorotan tajam. Meski bahaya logam berat ini telah lama terbukti secara ilmiah, namun hingga tahun 2025, aktivitas penambangan dengan bahan kimia beracun tersebut masih terus berlangsung tanpa tindakan tegas dari pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Padahal, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pencemaran merkuri di wilayah Hulawa telah mencapai ambang yang mengkhawatirkan. Logam berat ini ditemukan mengendap di sedimen sungai dan menyebar ke rantai makanan—mulai dari ikan hingga hasil pertanian. Akibatnya, masyarakat di sekitar kawasan tambang menghadapi risiko serius: gangguan sistem saraf, cacat lahir, gangguan perkembangan janin, hingga penyakit kulit kronis akibat paparan jangka panjang.

Namun, diamnya pemerintah daerah dan aparat kepolisian menciptakan kesan pembiaran terhadap pelanggaran lingkungan yang nyata.

Aktivis mahasiswa asal Gorontalo Utara, Moh. Dicki Modanggu, menilai situasi ini sebagai bukti lemahnya pengawasan pemerintah dan minimnya komitmen terhadap keselamatan publik.

“Lebih dari sembilan tahun saya menyaksikan sendiri kondisi sungai Hulawa hingga Wubudu. Airnya tidak pernah jernih lagi. Dari hulu sampai muara warnanya tetap keruh dan tercemar. Coba dilakukan penelitian ulang, saya yakin hasilnya akan menunjukkan kandungan zat kimia berbahaya,” ujar Dicki.

Pernyataan Dicki mencerminkan paradoks antara aturan yang ketat di atas kertas dan realitas yang longgar di lapangan.
Secara hukum, penggunaan merkuri di sektor pertambangan telah dilarang secara nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM). Aturan ini merupakan tindak lanjut dari Konvensi Minamata, yang diratifikasi lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017, di mana Indonesia berkomitmen menghapus penggunaan merkuri paling lambat tahun 2025.

Ironisnya, menjelang tenggat waktu tersebut, Hulawa justru menjadi potret kegagalan implementasi regulasi lingkungan. Aturan ada, tapi tanpa tindakan nyata.

Dicki mendesak Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Gorontalo Utara untuk segera melakukan investigasi lapangan dan Polres Gorontalo Utara menindak pihak-pihak yang masih menggunakan merkuri. Ia juga mendorong Pemerintah Provinsi Gorontalo menyiapkan langkah transisi menuju pertambangan tanpa merkuri, melalui pelatihan dan pendampingan bagi penambang rakyat.

“Pemerintah daerah dan kepolisian harus hadir. Penelitian terdahulu sudah cukup menjadi dasar untuk bertindak. Kesehatan dan lingkungan adalah prioritas yang tidak bisa ditawar,” tegasnya.

Paparan merkuri bukan hanya ancaman bagi penambang, tetapi juga bagi masyarakat luas dan generasi masa depan. Logam berat ini dapat bertahan di alam selama puluhan tahun, mencemari air, tanah, dan hasil pertanian, sebelum akhirnya kembali masuk ke tubuh manusia melalui makanan.

Jika pembiaran ini terus berlanjut, Hulawa bisa menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan lingkungan.
Krisis kesehatan dan pencemaran yang dihasilkan tidak hanya akan menjadi masalah hari ini, tetapi warisan beracun bagi generasi mendatang—lahir dari kelalaian dan abainya penegakan hukum.