 BLITAR – Di tengah arus modernisasi dan perubahan tren seni pertunjukan, kelompok seni Jaranan Turonggo Sekar Budoyo di Dusun Tumpuk, Desa Purwodadi, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, tetap teguh melestarikan kesenian jaranan gaya klasik. Kelompok yang dipimpin oleh Imam Sapi’i ini telah berdiri selama tujuh tahun, dengan empat tahun terakhir menggunakan nama Turonggo Sekar Budoyo.
 BLITAR – Di tengah arus modernisasi dan perubahan tren seni pertunjukan, kelompok seni Jaranan Turonggo Sekar Budoyo di Dusun Tumpuk, Desa Purwodadi, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, tetap teguh melestarikan kesenian jaranan gaya klasik. Kelompok yang dipimpin oleh Imam Sapi’i ini telah berdiri selama tujuh tahun, dengan empat tahun terakhir menggunakan nama Turonggo Sekar Budoyo.
“Awalnya saya ikut kelompok jaranan di Selokajang, tapi setelah bubar, saya memutuskan untuk melanjutkan sendiri agar jaranan khas Jawa Klasik ini tidak hilang,” ungkap Imam Sapi’i, Ketua Jaranan Turonggo Sekar Budoyo.
Nama Turonggo Sekar Budoyo sendiri memiliki makna mendalam, yakni agar budaya tetap mekar dan lestari seperti bunga yang terus berkembang. Kelompok ini berkomitmen mempertahankan tarian gaya lama agar tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Beberapa tarian yang masih dilestarikan di antaranya Jaranan Jawa Klasik untuk penari putra, Jaranan Senterewe untuk penari putri, serta Barongan Kucingan Karanggayam.
Para penari Turonggo Sekar Budoyo berasal dari berbagai kalangan usia, mulai dari anak-anak sekolah dasar hingga orang dewasa. Imam Sapi’i yang kini berusia 68 tahun pun masih kerap turun langsung menari jika ada kekurangan personel.
“Personel kami sekitar 50 orang, terdiri dari penari, penabuh gamelan, sinden, dan kru lainnya. Semuanya warga kampung sini. Kami tidak punya pemain cadangan, jadi kalau ada yang berhalangan, ya bagaimana pun harus bisa tampil,” jelasnya.
Namun, perjalanan kelompok ini tidak selalu berjalan mulus. Kerap kali mereka hanya diberi janji pentas tanpa realisasi. Untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan, kelompok ini mengandalkan uang hasil tanggapan yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Hingga saat ini, mereka belum mendapatkan bantuan dari pemerintah, sehingga perkembangan kelompok cukup terkendala, terutama karena pertunjukan tidak selalu ada secara rutin.
Meski demikian, semangat Imam Sapi’i tidak surut. Ia berharap kelompoknya bisa memiliki perlengkapan yang lebih lengkap agar pertunjukan semakin baik. “Gamelan kami belum lengkap, masih kekurangan gong besar, demung, dan saron. Bahkan sound system kami juga kurang memadai, beberapa peralatan pun masih harus meminjam,” ujarnya.
Imam Sapi’i juga memiliki pandangan terhadap perkembangan kesenian jaranan di Blitar saat ini. Ia prihatin dengan fenomena tawuran yang kerap terjadi dalam pertunjukan jaranan di beberapa tempat. Oleh karena itu, ia berkomitmen untuk menjaga jaranan yang dipimpinnya tetap dalam koridor seni yang berlandaskan nilai budaya.
“Saya ingin menyuguhkan tontonan yang memiliki tatanan dan tuntunan. Sebisa mungkin, saya menghindari faktor-faktor penyebab tawuran agar tidak terjadi dalam kelompok kami saat pentas,” tegasnya.
Dalam hal promosi, Turonggo Sekar Budoyo masih mengandalkan informasi dari mulut ke mulut serta pembuatan poster sederhana setiap kali mendapatkan tanggapan. Hingga kini, mereka belum memiliki media sosial maupun dokumentasi resmi dari setiap pertunjukan. Namun, beberapa waktu lalu, kelompok ini mulai mendapat sorotan dari beberapa YouTuber yang mendokumentasikan penampilan mereka dalam acara Kirab Goa Tumpuk di Selokajang, Kecamatan Srengat, pada 25 Januari 2025. Hal ini menjadi langkah awal dalam memperkenalkan Turonggo Sekar Budoyo kepada khalayak yang lebih luas.
Dengan semangat yang tidak pernah padam, Imam Sapi’i dan para anggota kelompoknya terus berjuang agar warisan budaya jaranan klasik tetap lestari di tengah tantangan zaman. Mereka berharap ke depannya, pemerintah maupun pecinta seni budaya dapat turut serta mendukung keberlangsungan seni jaranan yang telah menjadi identitas budaya masyarakat Blitar. (Eko)














